Kamis, 26 Mei 2016

Jika Aku Menjadi Legislator Kampus

Tugas Essay PLMFE 2016
Nama : Qurrota A'yunin (Akuntansi 2014)

JIKA AKUMENJADI LEGISLATOR KAMPUS
Legislatif, sebuah kata yang pasti berhubungan dengan kata legislator, yang mana legislator adalah pembuat Undang-Undang (menjalankan fungsi legislasi). Legislasi sendiri pun memang merupakan salah satu fungsi utama dari lembaga legsilatif.
Kehadiran Badan Legislatif Mahasiswa memang seharusnya menjadi senjata bagi penggiat kampus untuk melahirkan tatanan kegiatan mahasiswa yang terarah dan berorientasi pada demokrasi seutuhnya. Bercermin dari sistem pemerintahan negeri ini, dengan trias politica yang dianut, hendaknya kampus dapat mengadopsi dan memodifikasi sistem tiga lembaga negara, yaitu legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
Diyakini atau tidak, memang hal tersebutlah yang kerap terjadi di suatu kampus. Wajah legislatif terpinggirkan karena kerap dituduh tak memiliki orientasi kerja yang jelas dan nyata. Kreativitas mahasiswa memang benar-benar dapat ditunjukkan lewat kegiatan dari badan eksekutif mahasiswa. Tugas badan legislatif yang secara umum mengawasi kinerja badan eksekutif, masih dianggap terlalu lemah. Selayaknya kesetaraan badan eksekutif dan legislatif mahasiswa diwujudkan, sehingga keseimbangan kampus dapat direalisasikan dan menunjang sistem kemahasiswaan yang baik dan menjadi titik perubahan kedepannya.
Jika demikian, lantas apa sebenarnya peran sang Legislator Kampus dalam dinamika kampus? BPM memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran dalam ranah mahasiswa. Fungsi legislasi dijalankan dengan membentuk regulasi yang mengikat lembaga mahasiswa. Selain itu, BPM juga memiliki fungsi pengawasan yang dilakukan dengan pembentukan komisi-komisi dalam tubuh BPM guna mengawasi kinerja dinas-dinas. Adalah fungsi anggaran, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh alat kelengkapan BPM yang bersifat tetap, yang dibentuk oleh BPM.
Semua fungsi tersebut dapat bekerja dengan baik dan efektif bila didukung oleh informasi-informasi yang berasal dari mahasiswa. Artinya untuk mendapatkan informasi tersebut, menjadi sebuah keharusan bagi anggota BPM untuk sering bertukar pikiran dengan mahasiswa konstituennya, mengenai dinamika kampus. Bertanya tentang apa yang diinginkan oleh mahasiswa, mendengar apa yang diharapkan mahasiswa, “membaca” isu yang mencuat di lapangan, mengumpulkan segala bentuk aspirasi yang dicurahkan konstituennya, yang sebenarnya adalah rekannya sendiri sesama mahasiswa. Terdengar sangat mudah ya? Dalam kenyataannya hal ini sangat susah dilakukan. Namun saya yakin, meski susah, Insya Allah bisa dilakukan!
Jika saya menjadi seorang legislator kampus maka saya ingin melakukan penyaringan aspirasi setiap mahasiswa dengan tindakan bersama yang diturunkan gerakan bersama anggota BPM. Tidak hanya satu badan saja yang bergerak. Jika saya menjadi seorang legislator kampus, saya ingin setiap suara mahasiswa dapat tersalurkan dengan baik berjalan sesuai koordinasi. Jika saya menjadi seorang legislator kampus saya ingin meningkatkan eksistensi kinerja legislator bahwa sebenarnya tanggungjawab seorang legislator bukanlah hal yang ringan dan mudah.
Sangat penting bagi anggota BPM memiliki kemampuan mendengar sebaik kemampuan berbicara. Kemampuan mendengar inilah yang menjadi senjata pamungkas bagi suksesnya BPM menjalankan peran dalam dinamisasi kehidupan kampus.  Dengan kemampuan ini, aspirasi mahasiswa terserap dan kemudian dapat ditindaklanjuti melalui alat apa saja, bisa melalui rapat, regulasi, teguran kepada BEM atau Badan Semi Otonom (BSO) atau bahkan perbaikan diri sendiri.
Selain itu, tindakan nyata merupakan sebuah keniscayaan. Jika hanya mendengar dengan benar-benar mendengar, tanpa adanya tindakan solutif, maka efektivitas kinerja BLM akan diragukan dan mahasiswa tidak lagi percaya pada para wakilnya di BPM, karena merasa tidak ada respon sesuai harapan. Namun perlu digarisbawahi pula bahwa tidak semua aspirasi butuh tindakan nyata. Diperlukan proses lainnya untuk mendapatkan solusi yang terbaik.
Oleh karena itu dibutuhkan orang-orang yang multitalent untuk menduduki amanah jabatan sebagai anggota BPM, yang mampu mendengar, mencerna informasi, dan menghasilkan keputusan yang tepat. Tugas yang sangat berat bagi sebuah elemen mahasiswa tertinggi di kampus. Sesuai dengan nature-nya, semakin tinggi kedudukan, semakin besar dan berat tanggungjawab yang dipikulnya.
Tak lepas dari usaha mandiri BPM untuk memperbaiki dinamika kehidupan kampus, adalah dukungan penuh dari segenap mahasiswa yang BPM butuhkan. Jika sedemikian keras usaha yang BPM telah lakukan, namun kurang mendapatkan dukungan dari mahasiswa, maka usaha BPM ini bagaikan bertepuk sebelah tangan. Tidak akan menghasilkan apa-apa.
Namun lembaga mahasiswa berlabel legislatif mahasiswa di kampus manapun, diakui atau tidak mempunyai kesan minim fungsi. Bahkan cenderung hanya dijadikan formalitas pelengkap keberadaan lembaga kemahasiswaan. Nama lembaga legislatif mahasiswa memang cenderung tenggelam oleh glamour lembaga eksekutif mahasiswa. Sangat dimaklumi mengingat peran-peran eksekutif mahasiswa terkesan lebih menyentuh langsung kepada mahasiswa, sedangkan peran legislatif mahasiswa terkesan menjalankan peran legislasif yang berkutat hanya pada pembuatan regulasi. Lebih memprihatinkan lagi, ada kesan bahwa fungsi lembaga legislatif mahasiswa hanya berperan temporal ketika membuat regulasi ketika Ospek, Pemilu Mahasiswa, dan kongres mahasiswa di akhir kepengurusan eksekutif mahasiswa.
Hal tersebut ternyata tidak hanya menjangkit di tataran kekampusan, namun juga terakumulasikan secara nasional bahwa lembaga legislatif mahasiswa miskin fungsi, dan tak terdengar kiprah dan gaungnya dibandingkan dengan lembaga eksekutif mahasiswa di tataran nasional seperti BEM seluruh Indonesia (BEM SI), maupun BEM Nusantara sebagai forum perkumpulan lembaga-lembaga eksekutif nasional baik dari perguruan tinggi negeri maupun swasta. Lembaga legislatif mahasiswa hanya menjadi pelengkap dalam struktur organisasi kemahasiswaan dan hanya menjalankan kegiatan – kegiatan yang bersifat seremonial belaka. Oleh karenanya banyak mahasiswa yang tidak tertarik untuk bergabung dengan lembaga legislatif mahasiswa.
Lembaga legislatif mahasiswa sebagai watch dog dan sparing partner bagi eksekutif mahasiswa inilah yang sepertinya jarang dilakukan oleh lembaga legislatif mahasiswa. Hal ini semakin diperparah dengan minimnya mereka menyerap aspirasi dari konstituen mahasiswa yang diwakilinya di tataran bawah. Saat ini yang terjadi kebanyakan dari kedua lembaga itu terkesan sama saja, miskin fungsi. Terlebih ketika dihadapkan pada realitas bahwa kedua lembaga tersebut tak jarang dikuasai oleh elemen pergerakan mahasiswa yang sama ideologi dan garis politiknya, maka makin matilah dinamisasi kelembagaan mahasiswa utamanya lembaga legislatifnya. Karena, ada kecenderungan kepentingan kelompok dalam melakukan fungsi check and balance. Pada akhirnya memang sangat perlu penjagaan ritme dan dinamisasi pergerakan mahasiswa, mengingat ruh dan kekuatan mahasiswa yang begitu dinantikan bangsa hanya akan terlihat ketika ada dinamisasi dan pergerakan. Tanpa itu semua, tentunya mahasiswa hanya akan berkutat pada wacana tanpa aksi nyata. Dan peran strategis tersebut harus segera dimainkan oleh setiap lembaga legislatif mahasiswa yang ada.
Lembaga mahasiswa di tingkat  legislatif mempunyai tanggung jawab moral untuk mencetak pengganti mereka minimal yang sesuai dengan posisi masing-masing. Tidak ada artinya seorang pemimpin besar jika ia tidak bisa mencetak pemimpin besar yang lain. Ada tanggung jawab bagi setiap mereka yang ada di organisasi mahasiswa untuk memastikan adanya pengganti orang yang tepat di kepengurusan selanjutnya.
Memang sebenarnya regenerasi lembaga legislatif akan berjalan sendirinya melalui mekanisme organisasi, namun demikian sebagai pengurus lembaga tersebut pada tahun sebelumnya maka seharusnya menjadi tanggung jawab moral pengurus organisais tersebut untuk memastikan bahwa organisasi akan dipimpin atau dikelola oleh orang-orang yang tepat. Hal ini tidak tertulis dalam dalam peraturan apapun didalam UU sistem pemerintahan mahasiswa, tapi hal ini adalah tanggung jawab moral seluruh pengurus organisasi mahasiswa yang akan lengser dan diganti dengan pengurus yang baru.
Seorang ketua lembaga mahasiswa harus bisa mengkader atau mempersiapkan orang yang tepat, secara kualitas dan kapabilitas, sebagai calon pengganti dirinya. Begitu juga dengan wakil ketua, kepala devisi, dan juga staff ahli devisi untuk mengkader orang yang tepat sebagai pengganti dirinya dalam kepengurusan selanjutnya. Memang proses ini akan berjalan sendiri, atau bahkan nantinya akan ditentukan oleh kebijakan dari pimpinan lembaga terpilih, tapi sebagai pengurus organisasi yang mempunyai ikatan emosional dan moral terhadap keberlanjutan organisasi, maka setiap pengurus organisasi harus merasa mempunyai tanggung jawab tersebut.
Perlu diketahui bahwasannya organisasi mahasiswa adalah organisasi berbasis kekeluargaan, maka setiap pengurus harus mempunyai ikatan emosional dan tanggung jawab moral kepada sesama anggota dan juga kepada organisasinya.
Bisa dikatakan bahwa setiap personal, pengurus organisasi adalah pengkader atau orang yang menurunkan, mendidik, dan mengembangkan nilai, kemampuan, dan pengetahuan pada bawahannya. Setiap pengurus harus mempersiapkan bawahannya agar siap mengganti posisi yang akan ditinggalkannya. Ini adalah tanggung jawab semua pengurus organisasi. Setiap pengurus organisasi adalah agen kaderisasi yang bertanggung jawab terhadap improvement dan continuitas organisasi. Setidaknya organisasi secara keseluruhan harus mempunyai sistem yang mendukung terciptanya atmosfer kaderisasi yang baik, berkelanjutan,  sistematis, dan progresif.